Cerita Anak Pada Ayahnya Sudah seminggu surat itu tergeletak di atas meja. Selama itu pula surat beramplop cokelat muda itu kupandangi dengan pandangan kosong. Entah apa yang membuat aku tidak segera mengirimkannya. Yang jelas tidak karena lupa. Tapi, ah, tiba-tiba aku ingin membuka kembali isi surat itu. Surabaya, 17 November 2003 Assalamu’alaikum wr wb, Untuk ayahku yang ada di desa. Terimalah salam senyum dari anakmu yang sedang menimba ilmu ini. Puji syukur karena anakmu di sini baik-baik saja. Semoga ayah beserta keluarga juga dalam keadaan sehat walafiat. Ayah, kalau boleh aku bercerita tentang kota Surabaya tempat aku bermukim. Aku di sini tinggal di salah satu sudutnya. Di sebuah rumah kos pada suatu gang sempit gelap dan semrawut. Jauh dari kebersihan. Tiap malam setelah aku pulang dari belajar kelompok, di gang itu berseliweran kecoa. Ada yang di tembok, di lantai, ada yang merubung remah-remah roti. Menjijikkan. Dan yang lebih menjijikkan, tikus-tikusnya hampir sebesar kucing. Kucing di sini kurus-kurus karena tak ada yang mau makan tikus. Persis seperti republik ini ya Yah. Koruptor dibiarkan berkeliaran. Tak ada yang mau menangkap atau menjebloskan mereka ke penjara. Pantas saja tubuh para tikus, eh, koruptor, gemuk-gemuk. Tahukah Yah, tiap pagi aku menunggu indahnya matahari terbit. Seperti di desa. Tapi yang kulihat adalah matahari yang langsung garang. Langsung membakar kulit karena memang di kota ini tak ada lagi pagi. Tak ada lagi kehidupan yang lembek. Semua dituntut bekerja keras. Tak ada lagi sapa menyapa. Semua sibuk dengan pekerjaannya. Matahari di sini panas. Dan manusianya dituntut untuk menaklukkan matahari. Biarlah aku tak bisa melihat terbitnya fajar asal aku bisa melihat matahari waktu senja yang kata orang-orang indah. Tapi nyatanya tiap sore aku hanya melihat gedung-gedung menjulang tinggi. Tiap kali aku memandang ke barat, tak ada yang namanya keindahan matahari tenggelam. Yang kulihat hanyalah fatamorgana yang muncul di tembok-tembok beton. Andaikan di sini ada suatu tempat khusus yang disediakan untuk menikmati senja. Semua orang pasti gembria, termasuk aku. Sungguh Surabaya akan menjadi kota yang indah bila itu memang terjadi. Bila malam sudah di pelupuk mata. Yah, Surabaya tak kunjung tidur. Surabaya tak pernah sekali pun mengantuk. Mobil-mobil tak henti-hentinya merayapi jalan dengan mengeluarkan asap yang menyesakkan. Membuat malam semakin pekat. Warna-warni lampu jalanan dan geliar mal dan tempat-tempat hiburan malam tak kunjung menemukan keredupannya. Dan tahukah Yah, di sela-sela kehidupan itu ada kehidupan lain yang memprihatinkan. Ya, anak-anak jalanan. Setiap ada lampu, di situlah mereka menitipkan hidup. Sungguh mereka adalah korban modernisasi yang didengung-dengungkan selama ini di Surabaya. Jangan khawatir dengan keimananku di sini Yah. Tiap sore aku mengaji di surau. Surau di tempatku selalu penuh sesak dengan jamaah. Tak ada tempat kosong. Mungkin surau, masjid-masjid lain juga begitu. Tapi ironis sekali Yah. Di kota ini juga banyak tempat-tempat maksiatnya. Bahkan di kota ini terdapat lokalisasi PSK terbesar se-Asia Tenggara. Aku heran, mengapa mereka dilokalisasikan. Itu kan sama saja dengan melegalkan prostitusi. Menghalalkan seks bebas. Alasannya sih biar Surabaya lebih tertib. Padahal, ini akan membuat si kupu-kupu malam semakin merajalela. Kita ibaratkan air hujan. Jika tadahkan pada sebuah ember, air akan tetap di ember dan selalu bertambah volumenya. Lain halnya jika tak ada wadah yang menampung. Air itu akan langsung lenyap karena diserap tanah. Sungguh aku tak mengerti cara berpikir mereka yang merasa berwenang akan hal ini. Kurasa cukup sekian dulu. Lain hari akan kita sambung lagi cerita ini. Akan aku ceritakan lagi sisi lain kota ini beserta pernak-perniknya. Aku yakin surat-suratku tak akan berhenti bercerita karena Surabaya tak akan kehabisan kisah untuk diceritakan. Sudah dulu Yah. Salam hormat dari anakmu yang ada di perantauan. Wassalamu’alaikum wr wb. Aku lipat kembali surat itu. Kukembalikan lagi pada amplopnya. Kini tak ada lagi rasa ragu. Aku harus mengirimkan surat ini karena rinduku pada kampung halaman seperti kepercayaanku pada Surabaya. Bahwa tahun-tahun mendatang Surabaya adalah sebuah kampung halaman yang mesti dirindukan. Oleh Rian Sindu T. Penulis adalah mahasiswa Univ. Airlangga Surabaya